Mbok Ngatiem Ngomongin Negara ???

Suatu pagi, saya mendengarkan acara dialog interaktif yang disiarkan oleh salah satu radio swasta terkemuka di Jakarta. Tema yang dibahas ketika itu adalah seputar tanggapan masyarakat berkenaan dengan kebijakan pemerintah menaikkan harga gas (liquid petroleum gas/ LPG).

Melalui saluran telepon yang disediakan, mengalirlah sejumlah komentar dari para pendengar, mulai dari yang bernada "menghujat" sampai pada yang bernuansa mendukung. Satu di antara sederetan pendengar yang menyampaikan pendapatnya itu adalah Mbok Ngatiem (bukan nama asli) dari Jawa Timur. Pendengar yang mengaku berstatus sebagai ibu rumah tangga ini termasuk sangat kecewa dengan kebijakan pemerintah menaikkan harga LPG.

Alasan yang dia sampaikan sangat masuk akal: "Lo, pemerintah ini maunya opo toh, Mas. Awalnya, kita diminta untuk mengonversi penggunaan minyak tanah ke gas, wis dituruti, eeh......moro-moro (tiba-tiba) harga gas dinaikkan. La.. ini artinya sama saja dengan pemerintah ingin bunuh rakyat, toh? Katanya kita sudah reformasi', ya opo toh, Mas, hasilnya?" Tentu saja pernyataan yang dikemukakan oleh Mbok Ngatiem itu tidak sepenuhnya harus diterima. Namun, ini adalah bagian dari realitas empiris kehidupan anak bangsa yang acap sulit dicerna oleh rasionalitas politik para petinggi negara di Jakarta.

Mbok Ngatiem dengan bahasa ndeso sejatinya sedang mempertanyakan eksistensi negara dalam kehidupan nyata. Hal inilah kemudian yang telah mengusik pikiran saya. Di antara pertanyaan yang moro-moro muncul adalah apa yang dapat dimaknai dari pernyataan Mbok Ngatiem tersebut pada konteks perjalanan "reformasi" di Indonesia sejak 1998 dan apa yang harus dilakukan ke depan?

Reformasi Institusi Negara

Bila ditilik dari perspektif "relasi negara dan masyarakat" (state-society relation), ungkapan polos yang disampaikan oleh Mbok Ngatiem di atas sungguh sangat mendasar karena dia sedang menggugat kapasitas negara (state capacity) dalam realitas kehidupan masyarakat (society).

Sayangnya, pertanyaan ini cenderung mendahului realitas yang terjadi lantaran pasca-reformasi sangat jelas terlihat masih lebih banyak dicurahkan pada upaya memperbaiki dan membangun institusi negara (state institutional reforms). Sementara upaya untuk membangun dan memperkuat state capacity relatif belum mendapat perhatian yang seimbang.

Hanya menyebut beberapa contoh, upaya reformasi institusi negara yang dimaksud dimulai dari amendemen UUD 45, pembentukan Mahkamah Konstitusi (MK), pembentukan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), melaksanakan pemilihan presiden (pilpres) secara langsung, pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung, perluasan otonomi daerah, diterapkannya sistem multipartai, kebebasan pers, dan tentunya masih banyak lagi bila harus disebut satu per satu.

Lebih jauh dari itu, dalam melakukan reformasi institusi negara itu sendiri juga terkesan sangat kuat bahwa target yang hendak dicapai lebih ditekankan pada upaya membangun "citra negara" di muka masyarakat atau apa yang disebut oleh Migdal (2003) sebagai state image.

Konsekuensinya, dapat dimengerti bila kemudian "aktualisasi negara dalam kehidupan sehari-hari" (state in practice) menjadi samar-samar atau bahkan dalam beberapa kasus, keberadaan negara justru "absen". Perihal itulah, antara lain, yang dirasakan Mbok Ngatiem di atas sehingga akhirnya dia mempertanyakan apa arti reformasi atau bahkan berpretensi seakan-akan pemerintah ingin membunuh rakyat.

Perspektif Sempit dan Asumsi Keliru

Pertanyaan berikutnya yang tidak kalah penting untuk direnungkan adalah, apa yang keliru dengan proses "reformasi"? Menurut hemat saya, sedikitnya ada dua persoalan pokok yang telah memberikan kontribusi terhadap terjadinya "bias reformasi" yang berlangsung di Tanah Air dalam kurun waktu 10 tahun terakhir ini.

Pertama karena adanya simplifikasi dalam mendefinisikan proses transisi pasca-Soeharto. Proses transisi cenderung didegradasi dalam perspektif yang sempit, yaitu hanya dimaknai sebagai transisi "sistem politik" atau lebih populernya disebut sebagai "transisi demokrasi". Sementara fakta menunjukkan bahwa apa yang sesungguhnya sedang terjadi adalah transisi pada konteks yang lebih luas, yakni transisi "relasi negara dan masyarakat"( state-society relation).

Kedua, adanya kekeliruan asumsi dalam mengartikulasi "transisi demokrasi". Sejauh ini, transisi demokrasi telah dimaknai sebagai suatu proses pergeseran dari sistem politik otoritarian menuju sistem politik demokrasi. Sementara realitas "transisi" di Indonesia jauh lebih kompleks dari postulat "transisi demokrasi" konvensional tersebut. Dikatakan demikian karena titik tolak dari proses transisi di Indonesia sebenarnya tidak sepenuhnya berangkat dari sistem politik otoriter menuju demokrasi, tetapi dari personalised government menuju demokrasi.

Sistem politik pada periode rezim Soeharto sudah melebihi sistem otoriter karena telah memasuki apa yang disebut oleh Alagappa (1995) sebagai model personalised government. Secara teoretis, model personalised government sebenarnya juga merupakan bagian dari sistem otoriter. Namun, yang membedakan dua model ini, antara lain, terletak pada karakteristik dari relasi kekuasaan yang berlangsung. Pada sistem otoriter, konsentrasi kekuasaan berada pada tangan sekelompok elite negara dan struktur relasi kekuasaan bersifat oligarki dengan moda bipolar atau multipolar.

Adapun pada model personalised government, konsentrasi kekuasaan berada pada tangan satu orang elite negara dan struktur relasi kekuasaan bersifat oligarki dengan moda monopolar. Dengan merujuk pada karakteristik dari personalised government di atas, tidak berlebihan bila dikatakan bahwa kita sejatinya baru berhasil dalam hal menggeser moda oligarki kekuasaan pada tubuh negara, dari personalised government (oligarki monopolar) ke oligarki multipolar.

Sementara pada sisi society telah melahirkan societal actors (elite masyarakat) sebagai "pemain" baru dalam ranah politik. Elite masyarakat ini merupakan kelompok yang paling diuntungkan dari proses "reformasi" karena mereka yang paling siap memaksimalkan kesempatan partisipasi akibat dari lemahnya posisi tawar atau bahkan belum siapnya masyarakat sipil (civil society).

Reformasi Jilid 2?

Upaya untuk memperbaiki dan memperkokoh institusi negara (state institutional reforms) memang harus dilakukan. Namun, bila tidak disertai dengan upaya membangun kapasitas negara (state capacity), hal itu akan berimplikasi pada semakin tidak kentaranya "aktualitas negara" (state in practice) dalam kehidupan masyarakat sebagaimana direfleksikan Mbok Ngatiem di atas.

Lebih jauh dari itu, upaya membangun institusi negara bila tidak terkelola dengan baik akan sangat rawan terhadap praktik- praktik "pembajakan" oleh para elite penyelenggara negara (state actors) untuk kepentingan legitimasi politik dan hegemoni kekuasaan. Oleh karenanya, cukup beralasan bila disarankan kepada para penyelenggara hasil Pemilu 2009 (baik para wakil rakyat di DPR maupun presiden dan wakil presiden beserta kabinetnya) agar lebih menekankan agenda "reformasi" ke depan pada upaya membangun kapasitas negara (state capacity).

Untuk itu, fokus utama reformasi seyogianya harus lebih ditekankan pada upaya membangun dan memperkuat empat pilar utama dari state capacity (Grindle,1996). Empat elemen utama dari kapasitas negara yang dimaksud adalah kapasitas institusional (institutional capacity), kapasitas teknis (technical capacity), kapasitas administratif (administrative capacity), dan kapasitas politik (political capacity).

Upaya membangun kapasitas negara ini tentu juga harus disertai dengan upaya membangun kapasitas masyarakat sipil



Comments :

1
Anonim mengatakan...
on 

Biar lebih enak komennya bagaimana kalo kotak komentarnya langsung ditaruh di bawah tulisan saja. Caranya? I don't know

Sekalian verifikasi kata-nya dihilangkan. Tanya Roomen saja

Pengikut